Jakarta, Humas LIPI. Sebagai bagian dari Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), pengambilalihan kekuasaan secara paksa oleh militer yang berlangsung di Myanmar saat ini tentu menjadi perhatian dunia internasional. Respons ASEAN sangat signifikan dalam konteks menjaga keberlangsungan demokratisasi di Myanmar. Koordinator Klaster Kajian Politik Luar Negeri, Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Siswanto, menyatakan kudeta di Myanmar merupakan fenomena politik internasional dan juga politik kawasan.
“Kita dapat mendalami bagaimana posisi ASEAN dalam melihat Myanmar sebagai kawasan yang sedang menghadapi kudeta dan mendapatkan respons yang begitu keras dari dunia internasional. Oleh karena itu, kami sebagai salah satu Pusat Unggulan Iptek (PUI) akan mencoba menyelami dan memahami hal itu sebagai bagian dari pencerahan kepada masyarakat dan upaya untuk mendalami sebuah situasi yang sedang terjadi di kawasan atau lingkungan,” jelasnya saat membuka Webinar dengan tema "Kudeta Myanmar: Akar Masalah, Dampak, dan Respons Dunia Internasional” pada Rabu (17/2).
Awani Irewati, ahli Kajian Perbatasan dan Demokrasi di Asia Tenggara, Pusat Penelitian Politik LIPI, mengungkapkan bahwa akar masalah dari kudeta Myanmar ini adalah tidak adanya nation building di Burma sejak awal kemerdekaan. “Jika kita lihat peta, ada konflik antara etnis mayoritas yaitu Etnis Bamar yang mayoritas adalah kelompok junta militer, berhadapan dengan etnis minoritas seperti Shan, Arakan, Rohingya, Mon, Karen, Karenni, dan sebagainya. Bahkan antar-etnis minoritas pun juga terjadi konflik,” ungkapnya.
Menurut Awani, demokrasi dan HAM jika disandingkan dengan pemerintahan militer yang berlangsung saat ini nampaknya begitu mahal untuk diwujudkan. “Dikatakan proses demokratisasi, tetapi proses ini belum mencapai target demokrasi, karena demokratisasi ini dipatahkan,” tuturnya. “Saya kira dukungan internasional yaitu masyarakat Indonesia maupun ASEAN hingga kini belum bisa membawa kekuatan sipil untuk tampil sebagai kekuatan yang dapat membawa nilai demokrasi di Myanmar,” imbuh Awani.
Di lain sisi, ahli Kajian ASEAN, Pusat Penelitian Politik LIPI, Lidya C. Sinaga, merumuskan lima poin utama mengenai sikap yang harus dilakukan oleh ASEAN. Pertama, prinsip non-interferensi yang fleksibel dapat dilakukan dalam batasan prinsip-prinsip ASEAN lainnya, terutama kedaulatan nasional dan konsensus. Kedua, ASEAN dapat mengajukan inisiatif diplomatik dalam format dialog dan komunikasi dengan junta militer. “Namun, bukan untuk mencampuri, melainkan membawa kembali ke jalan demokratisasi yang telah dirintis,” tegas Lidya.
Poin ketiga yang diuraikan Lidya adalah bahwa janji pemimpin junta militer untuk melakukan pemilu dalam waktu satu tahun ini, merupakan salah satu hal krusial yang harus dikawal oleh ASEAN. "Kepastian akan pelaksanaan pemilu ini penting bagi ASEAN mengingat dampak lebih besar yang akan terjadi jika junta militer berkuasa secara berkelanjutan di Myanmar, terutama terhadap kelompok etnis minoritas," tegasnya. Keempat, penting bagi ASEAN untuk juga membangun dialog dengan kelompok masyarakat sipil di Myanmar dan di ASEAN. Kelima, ASEAN harus mampu menjadi jembatan ke dalam dan ke luar ASEAN. “Yakni, meyakinkan Amerika Serikat, mitra dialog ASEAN lainnya, dan komunitas internasional akan kembalinya demokratisasi di Myanmar, dan menyerukan untuk mempertimbangkan kembali sanksi ekonomi karena pada akhirnya yang paling menderita dari semua krisis ini adalah masyarakat Myanmar,” paparnya.
“Belakangan ini, mata dunia tertuju pada ASEAN. Langkah ASEAN menemani Myanmar untuk mewujudkan perdamaian di dalam negerinya akan menjadi langkah besar dan penting dalam mewujudkan cita-cita stabilitas keamanan di Asia Tenggara,” pungkas Lidya.
Sebagai informasi, webinar ini juga turut mengundang Priyambudi Sulistiyanto, Senior Lecturer Collage of Humanities, Arts, and Social Sciences dari Flinders University, dengan materi Military Coup in Myanmar in Southeast Asian Comparative Perspective: Early Notes, serta turut mengundang Khine Win, Member of Myanmar Democracy Research Network dengan materi tentang Future Democracy in Myanmar.(sf/ed:mtr)