• Home
  • Tentang P2P
    • Peta Lokasi P2P
    • Division
      • In memoriam
      • Purnabakti
      • Dokumentasi dan Informasi
      • Administrative
      • International Political Studies
      • National Political Studies
      • Local Political Studies
    • Structure of Organization
      • Struktur Tim Redaksi Website
      • Struktur Organisasi P2P
    • Visi & Misi
    • History
  • Kolom
    • Kolom 1
      • Tinjauan Buku
      • Politik Lokal
      • Papua
      • Politik Internasional
    • Kolom 2
      • Politik Nasional
      • Perbatasan
  • Kerjasama
  • Kegiatan
    • ICWG LIPI 2018
      • ICWG LIPI 2018
    • Tahun 2013
    • Tahun 2012
    • Tahun 2011
    • Tahun 2010
    • Tahun 2009
    • Tahun 2008
    • Tahun 2007
    • Pengadaan Barang dan Jasa
    • Tahun 2014
    • Tahun 2015
    • Tahun 2016
    • Tahun 2017
    • Tahun 2018
    • Tahun 2019
    • Dialogue Series Maritime
      • National Seminar on Maritime Diplomacy
      • National Seminar on Maritime Border Resource Management
      • National Seminar on Regional Maritime Security
  • Publikasi
  • Galeri
    • Video
    • Foto
  • Download
Senin, 16 Desember 2019 13:00:37

Artikel Populer

Dilema Penyelesaian Kasus HAM di Tengah Postur Kabinet yang Sarat Aktor Keamanan

Menakar Kemungkinan Terwujudnya Agenda Perubahan Kelima UUD 1945

Welcoming Parliamentary Election in the Republic of Uzbekistan: Brief Comparison of Indonesia and Uzbekistan Electoral Formula

Menghidupkan Kembali GBHN, Mungkinkah?

Polemik Perubahan Kebijakan Amerika Serikat dalam Kesepakatan The Joint Comprehensvie Plan of Action (JCPOA) Nuklir Iran

Politik Nasional

Menakar Kemungkinan Terwujudnya Agenda Perubahan Kelima UUD 1945

Kategori: Politik Nasional Dibuat: 15 November 2019
Ditulis oleh Administrator Dilihat: 321
  • Cetak
  • E-mail

Agenda perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sudah mulai mencuat sejak tahun 2009. Ketika itu, kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2004-2009 telah menyusun naskah amandemen komprehensif UUD 1945. Akan tetapi, naskah tersebut belum ditindaklanjuti oleh MPR sampai ke persidangan mengingat mayoritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di MPR pada periode tersebut belum mendukung untuk dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945.

 

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan oleh kelompok DPD di MPR periode 2004-2009, anggota MPR masa jabatan 2009-2014 menyusun suatu rekomendasi melalui Keputusan Nomor 4/MPR/2014 untuk menjadi pertimbangan anggota MPR masa jabatan 2014-2019. Isi rekomendasi tersebut adalah melaksanakan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945 dengan tetap berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum negara dan kesepakatan dasar untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertegas sistem pemerintahan presidensial, serta melakukan perubahan dengan cara adendum. Namun sampai masa jabatan selesai, anggota MPR masa jabatan 2014-2019 tidak melaksanakan rekomendasi keputusan tersebut. Mayoritas anggota DPR di MPR belum juga bersepakat untuk melakukan perubahan UUD 1945.

 

Agenda perubahan UUD 1945 mempunyai syarat yang bersifat politis terkait kehadiran anggota MPR. Anggota MPR yang dimaksud adalah seluruh anggota DPR (berasal dari parpol) dan anggota DPD (yang kemungkinan anggotanya mempunyai aliansi dengan partai politik tertentu) sebagai perwakilan dari tiap-tiap provinsi.[1] Dalam Pasal 37 UUD 1945 disebutkan bahwa pengajuan perubahan pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR, untuk mengubah pasal-pasal sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR, dan putusan untuk mengubah pasal-pasal hanya dapat dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% +1 dari seluruh anggota MPR.

 

Jumlah anggota MPR periode 2004–2009 adalah 678 orang yang terdiri atas 550 anggota DPR dan 128 anggota DPD. Jumlah anggota MPR periode 2009–2014 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 anggota DPR dan 132 anggota DPD. Jumlah anggota MPR periode 2014-2019 adalah 692 orang yang terdiri atas 560 Anggota DPR dan 132 anggota DPD.[2] Dari segi jumlah, jika agenda perubahan UUD 1945 hanya diusulkan oleh anggota DPD maka tidak mungkin terwujud, karena tidak akan pernah memenuhi syarat sebagaimana yang telah ditentukan dalam UUD 1945. Penentu terwujudnya perubahan terhadap UUD 1945 adalah anggota DPR di MPR yang merupakan perpanjangan tangan partai politik (parpol). Oleh sebab itu, parpol menjadi penentu terwujud atau tidaknya perubahan kelima UUD 1945.

 

Pada tahun 2019, suara untuk melakukan perubahan UUD 1945 kembali muncul, kali ini dari kalangan parpol. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai pemenang Pemilu 2019, baik di Pemilihan Presiden maupun Pemilihan Legislatif, mulai menyuarakan keinginan politik untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945. Kepentingan yang dibawa oleh PDIP adalah untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menetapkan GBHN sebagai panduan penyelenggaraan pemerintahan yang berkelanjutan. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di Kongres V PDIP bulan Agustus 2019 di Bali.[3] Pertanyaannya, sejauh mana kekuatan politik PDIP dalam rangka mewujudkan agenda perubahan kelima UUD 1945?

 

Kekuatan Politik PDIP dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945

Kekuatan politik PDIP untuk tawar menawar dalam mewujudkan agenda perubahan kelima UUD 1945 di MPR kelihatannya cukup kuat. Dugaan ini berdasarkan tiga argumentasi dari realitas yang ada saat ini, yaitu:

 

Pertama, dari 711 orang anggota MPR periode 2019-2024 yang baru saja dilantik (tabel I), terbagi dalam sepuluh fraksi, yaitu sembilan dari partai politik[4] dan satu dari kelompok DPD, enam dari sembilan fraksi partai politik merupakan  koalisi PDIP di pemerintahan (eksekutif).[5]

 

Kedua, anggota DPD periode keempat 2019-2024 dapat dipastikan memiliki keinginan untuk melakukan perubahan UUD 1945, karena mulai dari anggota DPD periode pertama 2004-2009, periode kedua 2009-2014, hingga periode ketiga 2014-2019, memiliki keinginan yang kuat untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya naskah amandemen komprehensif UUD 1945 yang dibuat secara simultan oleh kelompok DPD di MPR. Hal tersebut terkait dengan kewenangan terbatas yang dimiliki anggota DPD, yaitu sebagai komplementer dari DPR (Kaelan, 2017).[6]

 

Ketiga, posisi PDIP yang semakin kuat di Istana pasca-kemenangan PDIP beserta partai koalisi dalam kontestasi pilpres pada Pemilu 2019 membuatnya semakin mapan di eksekutif karena akan memasuki periode kedua. Selain itu, masuknya Partai Gerindra yang semula adalah lawan politik terkuat PDIP pada Pilpres 2014 dan 2019 ke dalam barisan koalisi pemerintahan, membuat posisi PDIP juga semakin kuat. Ketua Partai Gerindra, Prabowo Subianto selaku rival Presiden Joko Widodo pada Pilpres 2019, bahkan kini menduduki jabatan Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju (KIM).

Tabel 1

Perolehan Kursi Berdasarkan Fraksi dan kelompok di MPR

 

Nomor Nama Fraksi/Kelompok Jumlah Kursi
  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 128
  Partai Golongan Karya (Golkar) 85
  Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 78
  Partai Nasional Demokrat (NasDem) 59
  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 58
  Partai Demokrat 54
  Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 50
  Partai Amanat Nasional (PAN) 44
  Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 19
  Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 136
Jumlah 711

Data diolah sendiri oleh penulis dari data KPU

Tabel II

Jumlah Kursi PDIP dan Koalisi di MPR

 

Nomor Nama Fraksi Jumlah Kursi
  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 128
  Partai Golongan Karya (Golkar) 85
  Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 78
  Partai Nasional Demokrat (NasDem) 59
  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 58
  Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 19
Jumlah 427

Data diolah sendiri oleh penulis dari data KPU

Tabel III

Jumlah Kursi PDIP dan Partai Koalisi serta Kelompok DPD di MPR

 

Nomor Nama Fraksi/Kelompok Jumlah Kursi
  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 128
  Partai Golongan Karya (Golkar) 85
  Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 78
  Partai Nasional Demokrat (NasDem) 59
  Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 58
  Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 19
  Dewan Perwakilan Daerah (DPD) 136
Jumlah 563

Data diolah sendiri oleh penulis dari data KPU

 

Data di atas memperlihatkan kuatnya posisi politik yang dimiliki PDIP, baik di Senayan maupun di Istana. Kekuatan PDIP dan partai koalisi di MPR sekitar 60,05 persen. Jika digabung antara jumlah suara PDIP dan partai koalisi, serta kelompok DPD di MPR maka kekuatannya sekitar 79,18 persen. Dengan kekuatan yang besar tersebut, persyaratan politis untuk menghadirkan anggota MPR dalam mengubah UUD 1945 sebagaimana termuat dalam Pasal 37 UUD 1945 kemungkinan akan mudah dipenuhi oleh PDIP, bahkan sekalipun tanpa kelompok DPD. Jika PDIP benar-benar menginginkan adanya perubahan kelima UUD 1945, hal ini tidak mungkin tidak dapat terwujud mengingat persyaratan perubahan UUD 1945 dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan mayoritas suara anggota MPR.

 

Pendapat KC Whare yang menyatakan bahwa konstitusi (UUD 1945) dalam artian formal merupakan produk kesepakatan politik (resultante) (Wheare, 1975) dan Franscois Venter yang berpendapat bahwa konstitusi yang “final” itu tidak ada karena konstitusi suatu negara bergerak bersama-sama dengan negara itu sendiri (Venter, 1999), rasanya berlaku dalam situasi ini.  Namun demikian, jika memang perubahan itu adalah suatu yang pasti, pendapat McWhinney perlu diimplementasikan pada saat proses perubahan kelima UUD 1945, yaitu bahwa tugas dan tanggung jawab utama elite-elite politik adalah mengantisipasi, mengoreksi, dan mengubah substansi-substansi sebuah konsitusi, demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan ke arah menuju proses demokrasi (McWhinney, 1981). Syarat substansi perubahan UUD 1945 harus lebih diutamakan daripada syarat yang bersifat politis.

 

Syarat substansi yang dimaksud tidak cukup hanya sampai memastikan substansi perubahan UUD 1945 tetap dalam koridor demokrasi, tetapi pasal-pasal perubahan kelima UUD 1945 harus mencerminkan dan sampai kepada mewujudkan tujuan negara Indonesia yang terdapat pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sehingga nantinya jika perubahan kelima UUD 1945 tetap harus dilaksanakan, hal ini bukan untuk memenuhi kepentingan segelintir orang, baik itu elite politik, pebisnis gelap, maupun oligarki. (Sutan Sorik)

 

Bibliography

Kaelan. (2017). Inkonsistensi dan Inkoherensi Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Hasil Amandemen. Jakarta: Badan Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) bekerjasama dengan Paradigma Yogyakarta.

McWhinney, E. (1981). Constitution-Making Principles, Process, Practices. Toronto: University of Toronto Press.

Venter, F. (1999). Constitution Making and the Legitimacy of the Constitution, National Constitution in the era of Integration (Antero Jyranki, ed.,). The Hague ; Boston: Kluwer Law International.

Wheare, K. (1975). Modern Constitutions. London: Oxford University Press.

 


[1]Untuk lebih lanjut lihat Sutan Sorik, Menghidupkan Kembali GBHN, Mungkinkah?, http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-nasional/1313-menghidupkan-kembali-gbhn-mungkinkah, diakses pada tanggal 13 November 2019, pukul 09:00 WIB.

[2]Data dihitung sendiri oleh penulis yang diambil dari web : https://www.dpd.go.id/, http://www.dpr.go.id/, https://v1.mpr.go.id/.

[3]Lebih lanjut lihat Kompas TV, Pidato Megawati Soekarnoputri di Kongres V PDIP, https://www.youtube.com/watch?v=j0LZzjkKhe8.

[4]Fraksi-fraksi partai politik di MPR pada periode 2019-2024, yaitu terdiri dari: 1) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), 2) Partai Golongan Karya (Golkar), 3) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), 4) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), 5) Partai Nasional Demokrat (NasDem), 6) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), 7) Partai Demokrat, 8) Partai Amanat Nasional (PAN), 9) Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

[5]Pasca pelantikan menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Presiden Jokowi maka dapat dikatakan PKS, PAN, dan Partai Demokrat adalah tiga partai yang tidak masuk dalam jajaran pemerintahan (eksekutif) atau oposisi.

[6]Menurut Kaelan DPD hanya sebatas komplementer dari DPR karena, 1)  jika dilihat kaidah Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, DPD tidak memeliki kekuasaan membuat undang-undang, melainkan hanya merancang dan mengajukan undang-undang yang berkaitan dengan daerah, sedangkan DPR memiliki kekuasaan membuat undang-undang bersama Presiden, 2) Jika dilihat berdasarkan Pasal 22D ayat (3), DPD tidak memiliki kekuasaan pengawasan yang mandiri karena hanya dapat melakukan pengawasan dan disampaikan kepada DPR, kemudian DPR-lah yang berwenang menentukan hasil pengawasan tersebut.

Pusat Penelitian Politik - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI)
Gedung Widya Graha LIPI, Lantai III dan XI
Jl. Jend. Gatot Subroto, Kav.10, Jakarta Selatan 12710
Telp: (021) 5251542 Ext: 2315 | Telp/Fax: (021) 5207118  
Email: politik@mail.lipi.go.id Copyright © 2019
Politik Nasional